Masyarakat Terbuka: Apa dan Bagaimana?

Karl Raymund Popper adalah salah satu pencetus istilah masyarakat terbuka yang memantik besarnya konsep ini hingga hari ini. Bukunya yang berjudul "The Open Society and Its Enemies" mengupas konsep ini dengan bahasa yang tidak bisa hanya dibaca sekali lintas. Sebagai filsuf dengan akar ilmu politik dan historisme teologis yang kuat mungkin sulit baginya untuk menemukan bahasa yang lebih membumi, atau memang wacana yang ia bangun milik mereka yang berkisar di lingkaran tersebut. Perlu sumber bacaan sekunder dan turunanya untuk bisa memahami pemikiran Popper. 

Filsuf dari Austria ini menyatakan musuh dari masyarakat terbuka adalah ekslusivitas (dalam konteks zaman itu masyarakat tribal) dan anti demokrasi. Popper juga menganalisis dan mengkritisi pemikiran Plato, Hegel, dan Marx tentang kebahagiaan sejati, kelas, dan keadilan. Ide besar Popper adalah tentang kebebasan individu, kemanusiaan, dan rasionalitas (Joordan, 2017).

Di samping Popper, filsuf yang namanya dikenal mempopulerkan konsep masyarakat terbuka ialah Henri Bergson (1932). Karlina Supelli dalam tulisannya "Masyarakat Terbuka Catatan Kritik untuk Pesona Sebuah Konsep" (Majalah Prisma, Volume 30, 2011) memaparkan gagasan Bergson sejatinya berkaitan dengan moralitas. Pengandaian bahwa orang taat menjalankan kewajiban moral karena pertimbangan rasional tidak masuk akal. Supelli, lanjutnya, menyatakan rasa kewajiban berasal dari paksaan sosial dan kebutuhan untuk menjadi patuh. Inilah yang Bergson sebut sebagai masyarakat tertutup untuk menggambarkan kontras konsep dari masyarakat terbuka. Masyarakat tertutup mempertahankan eksistensinya melalui ketaatan mutlak (Supelli, 2011). 

Secara sederhana, masyarakat terbuka dapat dimaknai sebagai suatu komunitas kolektif yang dalam kehidupannya (tercermin dalam perilaku) tidak lagi mempertimbangkan perbedaan asal-usul, warna kulit, bahasa, agama, adat istiadat, dan kebudayaan (Leonard Binder, 1988). Karakter lain yang melekat pada masyarakat terbuka adalah ada kedaulatan individu meski saling berhubungan satu sama lain, terjadi pertukaran menuju ke arah perubahan dan kolaborasi tanpa melihat kelas sosial tertentu (Karl Popper dalam Ali Imron, 2010). 

Dalam konteks Indonesia kita sudah memiliki Bhinneka Tunggal Ika sejak puluhan tahun silam, sehingga sejatinya Indonesia sudah berakar pada konsep keterbukaan. Lantas bilamana kita disebut masyarakat terbuka? Dalam Ali Imron (2010) setidaknya terdapat 3 poin, antara lain: 

  1. Terbangun komunikasi terbuka antar kelompok sosial tanpa adanya monopoli kelas tertentu

  2. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang setara dalam proses pengambilan keputusan melalui sistem pemerintahan yang demokratis 

  3. Hadirnya konstitusi sebagai pedoman yang menjamin perimbangan kekuasaan dan penegakkan HAM

Perjalanan menuju masyarakat terbuka tidak mudah dan bisa jadi tidak akan bisa terwujud sepenuhnya. Masih banyak perdebatan seputar konsep keterbukaan dari berbagai aspek. Misalnya batasan tolerasi dalam konteks keterbukaan, ancaman populisme, hingga ekosistem demokrasi saat ini. 

Pada dasarnya kita ingin hidup sebagai masyarakat terbuka: masyarakat yang berjiwa besar pada perbedaan, menghadapi keragaman, dan menjunjung tinggi keadilan dan kemanusiaan. Namun, siap dan bisakah kita secara sungguh menjalankannya? Kita yang berperan sebagai pemangku hak, kita yang berperan sebagai pemangku kebijakan.

Siap dan bisakah? 

Previous
Previous

Personal touch is unbeatable

Next
Next

Demokrasi yang Sehat dan Bermakna