Kenapa Harus Nginggris?
Kenapa coba? Asumsiku karena kadang kita gak tahu padanananya dalam bahasa ibu kita, atau kita sudah terbiasa atau tidak terbiasa menggunakan istilah tertentu. Misalnya, kita ‘gak tahu bahwa 'penelaahan sejawat' itu sepadan dengan peer review; atau kita lebih terbiasa menggunakan kata online daripada daring alias dalam jaringan. Kalau kamu yang mana? Bisa jadi juga kadang ngerasa kalau pakai istilah bahasa asing orang bakal lebih ngerti.
Namun ternyata kecenderungan menggunakan bahasa asing, dalam konteks ini bahasa Inggris ada sebutan fenomenanya, lho! Namanya: xenoglosofilia. Terdapat 3 suku kata dari istilah ini. Pertama, xeno yang berarti asing; gloso berarti bahasa; dan filia bisa diartikan suka. Pada dasanya merupakan kecendrungan penggunaan bahasa asing--again (ciye campur-campur, etdah!) dalam konteks ini bahasa Inggris--dibandingkan bahasa ibu. Situasi lain yang menggambarkan xenoglosofilia penggunaan bahasa asing yang dicampurkan dengan bahasa ibu, atau bahkan fully speaking or writing not in our local language.
Di tulisan kali ini bukan mau ngebahas soal, "Terus apa salahnya kalau suka ngomong bahasa Inggris? Kalau gue sok nginggris terus kenapa?". Tidak, ya, Saudara-saudara! Ada baiknya juga kita memiliki kecendrungan menyukai bahkan mahir dalam berbahasa asing khususnya bahasa Inggris.
Xenoglosofilia pertama kali mampir di telingaku setelah membaca buku karya Ivan Lanin yang berjudul, "Xenoglosofilia: Kenapa Harus Nginggris?". Reaksi pertamaku membaca buku ini adalah bertanya balik, "Emang kenapa?" lalu berharap menemukan jawabannya di buku ini.
Sayangnya, buku ini tidak menjabarkan secara langsung soal kecendrungan tersebut. Uda Ivan, begitu sapaan Ivan Lanin, membiarkan pembaca mencerna, mengimajinasi, lalu akhirnya memutuskan jawaban atas pertanyaan besar buku ini.
Menarik. Uda Ivan juga memberi kesempatan buat pembaca menemukenali dan merefleksikan penggunaan bahasa kita sehari-hari. Sebagai pecinta bahasa Indonesia, aku sih seneng pakai banget!
Buku dengan jumlah halaman 214 ini terdiri atas 3 bab. Pertama berjudul "Xenoglosofilia", yang berisi kumpulan esai Ivan Lanin. Kedua, "Tanja" akronim dari 'tanya-jawab', serta bab ketiga, "Manakah Bentuk yang Tepat?".
Kumpulan Esai Ivan Lanin
Salah satu esai Uda Ivan yang aku sukai berjudul, "Penelahaan Sejawat". Dua kata ini, seperti yang aku sebut di awal tulisan ini, merupakan padanan dari peer review. Lebih familiar istilah asingnya, ya? Esai ini memikatku karena Uda Ivan memaparkan proses penerjemahan bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan mudah tapi ternyata tidak mudah; bahwa proses penerjemahan tidak hanya sekadar mencari padanan atau arti katanya melainkan penting berpikir secara utuh, penting untuk menempatkan konteks dan turunan suatu kata yang ingin diterjemahkan.
Misalnya dari istilah peer review, kita perlu memahami terlebih dahulu apa makna istilah ini dan konteks penggunaan istilah ini. Setelahnya kita perlu mencari turunan istilah asing tersebut. Contohnya, dari peer review untuk penelahaan sejawat setidaknya akan ada 2 turunan kata: (1) peer reviewer untuk penelaah sejawat, (2) peer reviewed untuk tertelaah sejawat.
Proses ini dijelaskan dengan mudah namun pada praktiknya butuh kemampuan berpikir mumpuni. Buatku menarik dan menjadi bekal untuk belajar mencari padanan kata yang lebih sesuai konteks. Dari esai ini aku pun jadi belajar untuk terlebih dahulu mencari padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Sesederhana alih-alih menggunakan email, saya kini lebih suka memakai kata surel. Contoh lain, mengganti kata review dengan tinjau, atau mengganti kata approval dengan persetujuan.
Tanja alias Tanya-Jawab
Rasa-rasanya kita lebih familiar dengan istilah FAQ atau singkatan dari Frequently Asked Questions dibandingkan dengan istilah Tanja (ini belum resmi, sih, belum ada di kbbi daring setidaknya per 16 Mei 2023 pukul 21.54 WIB). Ivan Lanin menawarkan kata ini untuk jadi padanan dari FAQ.
Tanja adalah nama bab kedua dari buku buah karya pendiri narabahasa.id ini. Pernah merasa bingung gak dengan beberapa hal berikut, (1) Apakah misalkan dan misalnya merupakan 2 kata yang sama?; (2) Bagaimana membedakan akronim dan singkatan?; (3) Apakah kata 'beliau' perlu pakai huruf kapital seperti kata 'Anda'?.
Pernah, ‘gak? Kalau pernah jawabannya ada di bab kedua ini. Salah satu jawaban yang berhasil kutemukan adalah tentang akronim dan singkatan. Akronim merupakan kependekan dari gabungan huruf/suku kata/kata yang akhirnya terbentuk menjadi suatu kata baru yang bisa dilafalkan, sedangkan singkatan kependekan dari kata yang diambil dari huruf depan kata-kata yang hendak dipendekkan.
Contoh akronim: rudal (peluru kendali), Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), dan mudik (mulih dilik). Contoh singkatan: SIM (Surat Izin Mengemudi), SKB (Surat Keputusan Bersama), dan BU (Butuh Uang--mana iya lagi butuh banget!)
Bentuk yang Tepat?
Pertanyaan seputar kebahasaan yang paling sering membingungkan adalah menebak-nebak apakah formasi kata atau kalimat sudah tepat? Misalnya, "Kenapa atau Mengapa?", "Dipungkiri atau Dimungkiri?", "Pecinta atau Pencinta?". Kalau penasaran, jawabannya ada di bukunya Ivan Lanin satu ini. Salah satu temuan menarik bahwa bukan jerigen atau jirigen untuk wadah penampung benda cair yang terbuat dari plastik, besi, logam, berbentuk segi panjang dengan kepala pipih; yang tepat adalah jeriken. Uhuy baru tahu!
Biarkan Kami Mencerna dan Menyimpulkan!
Tiga bab yang dipaparkan Ivan Lanin telak tidak menggambarkan xenoglosoflianya. Nilai lebih buatku! Pada akhirnya pembaca diberi kesempatan mencerna dan menyimpulkan sendiri. Pengalamanku setelah membaca buku ini adalah semakin ingin memperdalam penggunaan bahasa Indonesia yang lebih baik dan benar. Bukan berarti meninggalkan penggunaan bahasa asing! Kan katanya, "Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing"
Aku jadi lebih sering mencari padanan bahasa Indonesia, kembali membuka bacaan terkait kaidah penulisan bahasa Indonesia, dan menelusur literasi seputar bahasa Indonesia. Semoga semakin hari semakin mahir dan gak sok nginggris karena lebih gak tahu padanannaya, gak terbiasa, atau bahkan karena gak cinta bahasa Indonesia!