Perempuan Timur dan COVID-19: Kisah Kapten Tangguh
Berbicara tentang perempuan, di masa, di situasi apapun tidak akan pernah ada kata usai. Perempuan, Puan, Wanita, apapun sebutannya selalu menjadi garda depan di segala situasi. Terutama pada situasi-situasti menegangkan. Sebuah artikel yang ditulis oleh Jack Zenger dan Joseph Folkman, memaparkan sebuah hasil penelitian yang hasilnya menunjukan bahwa, women are better leaders during a crisis. Bahkan lebih lanjut, keduanya mengungkapkan hasil penelitian kepemimpinan perempuan di era COVID-1; yang rasanya sudah banyak tersebar di media sosial.
Dipaparkan, studi menunjukkan angka kasus dan kematian COVID-19 di beberapa wilayah, secara sistematis jauh lebih terkontrol pada negara yang dipimpin oleh perempuan. Mereka juga melihat, dalam pemerintahan di U.S, negara bagian dengan pemimpin perempuan, memiliki angka kematian lebih rendah. Secara global, ternyata hasil yang sama pun muncul. Perempuan memegang kendali lebih baik. Sebut saja Denmark, Jerman, dan New Zealand.
Hal tersebut rasanya serupa dengan apa yang dilakukan para perempun di wilayah Timur Indonesia. Mari kita tengok sebentar ke wilayah Amanatun Selatan dan Amanuban Selatan. Kedua wilayah ini merupakan kecamatan yang terletak di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Seorang senior saya sedang mengabdi di sana. Ia bekerja pada sebuah yayasan yang berfokus pada Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Lembaganya menyebutnya sebagai koordinator wilayah. Saya menyebutnya, ‘Kapten Tangguh’. Selanjutnya dalam tulisan ini, disebut Kapten. Dia seorang perempuan, sudah menikah, dan memiliki seorang anak. Sebagai koordinator, Kapten adalah orang yang bertanggungjawab pada pendampingan kader posyandu, bidan desa, hingga para penerima manfaat mereka yang sebagian besar adalah ibu hamil. Di samping itu, para orangtua, guru, dan anak yang mereka dampingi di PAUD adalah bagiannya.
Di masa pandemi seperti ini, Kapten tidak mempunyai keistimewaan untuk bekerja dari rumah. Ia harus tetap bergerilya dari satu desa ke desa lain untuk melakukan pelayanan. Kapten memantau pelayanan kesehatan ibu hamil serta pelaksanaan pembelajaran dari rumah. “Saya bertanggungjawab di dua desa untuk program KIA dan 11 PAUD yang tersebar di Amanatun Selatan dan Amanuban Selatan,” cerita Sang Kapten pada saya.
Jumlah yang tidak sedikit. Belum lagi wilayah desa yang harus ia jajaki bukanlah daerah dengan medan yang mudah. Sebutlah seperti Desa Kualeu dan Nunleu yang akses jalan akan semakin menantang di musim hujan sepanjang Desember-Maret. Para bidan dan kader pun tak kalah hebatnya. Meski pandemi, mereka tetap memastikan para ibu tetap mendapatkan pelayanan antenatal. Diperiksa berat badan dan tinggi badan mereka, tekanan darah, hingga mengecek kondisi kandungan. Sang Kapten, dengan jangkauan wilayah yang cukup luas, hampir setiap hari melakukan kontrol. Belum lagi di masa pandemi ini, beberapa ibu hamil yang Kapten temui merasa cemas dengan kondisi yang tidak menentu. Hal itu membuat mereka was-was, tidak bahagia.
“Saya bertemu seorang ibu hamil yang merasa khawatir dan pusing mengurusi anak-anaknya yang belajar dari rumah. Suami atau bapaknya, lebih banyak pergi ke kebun. Jadilah dia mengurusi kedua anaknya namun juga harus tetap maksimal menjaga kehamilan. Ia cerita pada saya, ia kadang merasa sangat lelah,” cerita Kapten. Beberapa ibu akhirnya memilih untuk “membiarkan” anak-anak mereka belajar sesuka hati di rumah. “Saya jadi rasa sedih, anak-anak ini ‘kan belum terlalu paham, tapi di sisi lain, orangtua juga harus kerja,” sambung sang Kapten dengan raut wajah sendu.
Ia menuturkan, karena menemukan beberapa ibu yang seperti itu, ia pun sadar, di masa pandemi, selain kesehatan fisik, kesehatan mental juga penting. Namun tidak banyak yang menyadari hal tersebut. Termasuk di wilayah dampingan sang Kapten. Akhirnya, Kapten pun memutuskan untuk mulai lebih memperhatikan sisi psikologis ibu. Pekerjaannya di masa pandemi ini ia buat berbeda. Ia beri pandangan pada para bidan dan kader terlebih dahulu. Ia dekati para ibu tidak sebagai rekan penerima manfaat, tetapi lebih sebagai sahabat. Ia datang berkunjung untuk sekedar ngobrol, memipil jagung yang hampir kering, atau bahkan hanya untuk duduk menemani makan sirih pinang. Bahkan, yayasan tempat ia bekerja pun merespon situasi ini dengan cepat. Mereka mendesain kelas ibu hamil yang mereka sebut: Kelas Ibu Hamil Bahagia.
Penekanannya adalah afirmasi positif selama hamil, agar ibu dan si kecil dalam kandungan dalam keadaan sehat, terutama di masa sulit ini. Kepada saya Kapten bercerita bahwa kelas ini dijalankan berdasarkan modul yang tim susun, sesuai situasi pandemi. Kuncinya berpikir positif di tengah situasi pandemi! Dari sepanjang cerita Kapten, seorang perempuan yang tetap ambil peran di situasi ini, saya lalu bertanya padanya. “Lalu kalau kamu sendiri bagaimana?” Saya membayangkan. Di samping berjibaku dengan pekerjaan lapangannya, ia juga punya keluarga, terutama anak yang juga tentu tak luput dari perhatian.
“Jujur saja, saya juga lelah. Anak saya, suami juga harus saya perhatikan. Tetapi saya mau tetap melayani, meski ancaman virus juga membuat saya takut. Saya tidak bisa berdiam diri saja. Rasanya aneh. Rasanya tidak pas,” tuturnya. Ceritanya membuat saya tersadar. Rasanya tepat jika ada tesis yang mengatakan bahwa berbicara tentang perempuan di masa dan situasi manapun tidak akan pernah usai. Mereka selalu terdepan. Nafas perempuan, nafas perjuangan. Tidak perlu melihat jauh peran perempuan di negara adidaya. Tengok sekitar, perempuan-perempuan di wilayah Timur, seperti Kapten. Punya andilnya masing-masing. Meski mereka tidak turut menurunkan angka kasus, tetapi mereka punya perjuangan layaknya para pemimpin perempuan hebat di pelbagai negara.